sejarah kota tarakan

Tarakan menurut cerita rakyat berasal dari bahasa tidung “Tarak” (bertemu) dan “Ngakan” (makan) yang secara harfiah dapat diartikan “Tempat para nelayan untuk istirahat makan, bertemu serta melakukan barter hasil tangkapan dengan nelayan lain. Selain itu Tarakan juga merupakan tempat pertemuan arus muara Sungai Kayan, Sesayap dan Malinau.

Era Kerajaan Tidung

Kerajaan Tidung[3] atau dikenal pula dengan nama Kerajaan Tarakan (Kalkan/Kalka) adalah kerajaan yang memerintah Suku Tidung di utara Kalimantan Timur, yang berkedudukan di Pulau Tarakan dan berakhir di Salimbatu. Sebelumnya terdapat dua kerajaan di kawasan ini, selain Kerajaan Tidung, terdapat pula Kesultanan Bulungan yang berkedudukan di Tanjung Palas. Berdasarkan silsilah (Genealogy) yang ada bahwa dipesisir timur Pulau Tarakan yaitu di kawasan Dusun Binalatung sudah ada Kerajaan Tidung Kuno (The Ancient Kingdom of Tidung), kira-kira pada tahun 1076-1156, kemudian berpindah ke pesisir selatan Pulau Tarakan di kawasan Tanjung Batu pada tahun 1156-1216, lalu bergeser lagi ke wilayah barat yaitu ke kawasan Sungai Bidang kira-kira di tahun 1216-1394, setelah itu berpindah lagi, yang relatif jauh dari Pulau Tarakan ke daerah Pimping bagian barat dan kawasan Tanah Kuning, sekitar tahun 1394-1557.
Dari riwayat-riwayat yang terdapat dikalangan suku Tidung tentang kerajaan yang pernah ada dan dapat dikatakan yang paling tua di antara riwayat lainnya yaitu dari Menjelutung di Sungai Sesayap dengan rajanya yang terakhir bernama Benayuk. Berakhirnya zaman Kerajaan Menjelutung karena ditimpa malapetaka berupa hujan ribut dan angin topan yang sangat dahsyat sehingga mengakibatkan perkampungan di situ runtuh dan tenggelam kedalam air (sungai) berikut warganya. Peristiwa tersebut dikalangan suku Tidung disebut Gasab yang kemudian menimbulkan berbagai mitos tentang Benayuk dari Menjelutung.
Dari beberapa sumber didapatkan riwayat tentang masa pemerintahan Benayuk yang berlangsung sekitar 35 musim. Perhitungan musim tersebut adalah berdasarkan hitungan hari bulan (purnama) yang dalam semusim terdapat 12 purnama. Dari itu maka hitungan musim dapat disamakan lebih kurang dengan tahun Hijriah. Apabila dirangkaikan dengan riwayat tentang beberapa tokoh pemimpin (Raja) yang dapat diketahui lama masa pemerintahan dan keterkaitannya dengan Benayuk, maka diperkirakan tragedi di Menjelutung tersebut terjadi pada sekitaran awal abad XI. Kelompok-kelompok Suku Tidung pada zaman Kerajaan Menjelutung belumlah seperti apa yang terdapat sekarang ini, sebagaimana diketahui bahwa dikalangan Suku Tidung yang ada di Kalimantan Timur sekarang terdapat 4 (empat) kelompok dialek bahasa Tidung, yaitu :
  • Dialek bahas Tidung Malinau
  • Dialek bahasa Tidung Sembakung.
  • Dialek bahas Tidung Sesayap.
  • Dialek bahas Tidung Tarakan yang biasa pula disebut Tidung Tengara yang kebanyakan bermukim di daerah air asin.
Dari adanya beberapa dialek Bahasa Tidung yang merupakan kelompok komunitas berikut lingkungan sosial budayanya masing-masing, maka tentulah dari kelompok-kelompok dimaksud memiliki pemimpin masing-masing. Sebagaimana diriwayatkan kemudian bahwa setelah Kerajaan Benayuk di Menjelutung runtuh maka anak keturunan beserta warga yang selamat berpindah dan menyebar kemudian membangun pemukiman baru. Salah seorang dari keturunan Benayuk yang bernama Kayam selaku pemimpin dari pemukiman di Linuang Kayam (Kampung si Kayam) yang merupakan cikal bakal dari pemimpin (raja-raja) di Pulau Mandul, Sembakung dan Lumbis.
Berikut adalah raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Tidung :
  • Benayuk dari sungai Sesayap, Menjelutung (Masa Pemerintahan ± 35 Musim)
  • Yamus (Si Amus) (Masa Pemerintahan ± 44 Musim)
  • Ibugang (Aki Bugang)
  • Itara (Lebih kurang 29 Musim)
  • Ikurung (Lebih kurang 25 Musim)
  • Ikarang (Lebih kurang 35 Musim), di Tanjung Batu (Tarakan).
  • Karangan (Lebih kurang Musim)
  • Ibidang (Lebih kurang Musim)
  • Bengawan (Lebih kurang 44 Musim)
  • Itambu (Lebih kurang 20 Musim)
  • Aji Beruwing Sakti (Lebih kurang 30 Musim)
  • Aji Surya Sakti (Lebih kurang 30 Musim)
  • Aji Pengiran Kungun (Lebih kurang 25 Musim)
  • Pengiran Tempuad (Lebih kurang 34 Musim)
  • Aji Iram Sakti (Lebih kurang 25 Musim) di Pimping, Bulungan
  • Aji Baran Sakti (Lebih kurang 20 Musim).
  • Datoe Mancang (Lebih kurang 49 Musim)
  • Abang Lemanak (Lebih kurang 20 Musim), di Baratan, Bulungan
  • Ikenawai bergelar Ratu Ulam Sari (Lebih kurang 15 Musim)


Era Dinasti Tengara

Dinasti Tengara bermulai pada tahun 1557-1916 Masehi, dinasti ini pertama kali dipimpin oleh Amiril Rasyd Gelar Datoe Radja Laoet pada tahun 1557 Masehi dan berakhir pada saat dipimpin oleh Datoe Adil pada tahun 1916, Dinasti Tengara berlokasi di kawasan Pamusian, Tarakan Tengah
Berikut adalah raja-raja yang pernah berkuasa pada masa Dinasti Tengara :
  • Amiril Rasyd Gelar Datoe Radja Laoet (1557-1571)
  • Amiril Pengiran Dipati I (1571-1613)
  • Amiril Pengiran Singa Laoet (1613-1650)
  • Amiril Pengiran Maharajalila I (1650-1695)
  • Amiril Pengiran Maharajalila II (1695-1731)
  • Amiril Pengiran Dipati II (1731-1765)
  • Amiril Pengiran Maharajadinda (1765-1782)
  • Amiril Pengiran Maharajalila III (1782-1817)
  • Amiril Tadjoeddin (1817-1844)
  • Amiril Pengiran Djamaloel Kiram (1844-1867)
  • Ratoe Intan Doera/Datoe Maoelana (1867-1896), Datoe Jaring gelar Datoe Maoelana adalah putera Sultan Bulungan Muhammad Kaharuddin (II)
  • Datoe Adil (1896-1916)

Era Hindia Belanda

Ketenangan masyarakat setempat agak terganggu ketika pada tahun 1896, sebuah perusahaan perminyakan Belanda, BPM (Bataavishe Petroleum Maatchapij) menemukan adanya sumber minyak di pulau ini. Banyak tenaga kerja didatangkan terutama dari pulau jawa seiring dengan meningkatnya kegiatan pengeboran. Mengingat fungsi dan perkembangan wilayah ini, pada tahun 1923 Pemerintah Hindia Belanda merasa perlu untuk menempatkan seorang Asisten Residen di pulau ini yang membawahi 5 (lima) wilayah, yakni: Tanjung Selor, Tarakan, Malinau, Apau Kayan dan Berau. Namun pada masa pasca kemerdekaan, Pemerintah RI merasa perlu untuk mengubah status kewedanan Tarakan menjadi Kecamatan Tarakan sesuai dengan Keppress RI No. 22 Tahun 1963.

 Era Pendudukan Jepang

Pada saat pendaratan Sekutu, angkatan Jepang di Tarakan berjumlah 2.200 orang yang didatangkan dari Angkatan Darat Kekaisaran Jepang dan Angkatan Laut Kekaisaran Jepang. Satuan terbesar adalah Batalion Infantri Independen ke-455 yang berkekuatan 740 orang yang dikomandoi oleh Mayor Tadai Tokoi. 150 pasukan pendukung AD juga ada di Tarakan. Sumbangan AL kepada garnisun Tarakan tersusun atas 980 pelaut yang dikomandoi oleh Komandan Kaoru Kaharu. Satuan laut utama adalah Angkatan Garnisun Laut ke-2 yang berkekuatan 600 orang. Satuan laut ini dilatih bertempur sebagai infantri dan mengoperasikan beberapa senapan pertahanan pesisir. 350 pekerja minyak sipil Jepang juga diharapkan bertempur pada saat serangan Sekutu. Angkatan Jepang termasuk sekitar 50 orang Indonesia yang berdinas di satuan pengawal pusat. Mayor Tokoi mengarahkan keseluruhan pertahanan Tarakan, meskipun hubungan antara AL dan AD buruk.[4]
Angkatan Jepang dipusatkan di sekitar Lingkas, pelabuhan utama Tarakan dan tempat satu-satunya pantai yang cocok untuk pendaratan pasukan.[5] Pembela itu telah menghabiskan waktu beberapa bulan sebelum serangan yang menyusun posisi bertahan dan menanam ranjau.[6] Pertahanan yang diatur itu banyak dipakai selama pertempuran, dengan taktik Jepang yang difokuskan pada posisi bertahan pra-persiapan yang kuat. Jepang tak melakukan kontra-serangan besar apapun, dan kebanyakan gerakan menyerang terbatas pada beberapa pihak penyerang yang mencoba menyelusup garis Australia.[7]
Mendapatkan ladang minyak Tarakan adalah satu tujuan awal Jepang selama Perang Pasifik. Jepang menyerang Tarakan pada tanggal 11 Januari 1942 dan mengalahkan garnisun Belanda yang kecil dalam pertempuran yang berlangsung selama 2 hari di mana separuh pasukan Belanda gugur. Saat ladang minyak Tarakan berhasil disabotase oleh Belanda sebelum penyerahannya, Jepang bisa dengan cepat memperbaikinya agar bisa menghasilkan lagi dan 350.000 barel diproduksi tiap bulan dari awal tahun 1944.[8]
Menyusul penyerahan Belanda, 5.000 penduduk Tarakan amat menderita akibat kebijakan pendudukan Jepang. Banyaknya pasukan Jepang yang ditempatkan di pulau ini mengakibatkan penyunatan bahan makanan dan sebagai akibatnya banyak orang Tarakan yang kurang gizi. Selama pendudukan itu, Jepang membawa sekitar 600 buruh ke Tarakan dari Jawa. Jepang juga memaksa sekitar 300 wanita Jawa untuk bekerja sebagai "jugun ianfu" (wanita penghibur) di Tarakan setelah membujuk mereka dengan janji palsu mendapatkan kerja sebagai juru tulis maupun membuat pakaian.[9]
Arti penting Tarakan bagi Jepang makin menguap dengan gerak maju cepat angkatan Sekutu ke daerah itu. Tanker minyak Jepang yang terakhir meninggalkan Tarakan pada bulan Juli 1944, dan serangan udara Sekutu yang hebat di tahun-tahun itu menghancurkan produksi minyak dan fasilitas penyimpanan di pulau itu.[10] Serangan ini juga membunuh beberapa ratus penduduk sipil Indonesia.[11] Sejalan dengan kepentingannya yang makin menurun, garnisun Jepang di Tarakan berkurang pada awal 1945 saat salah satu dari 2 batalion infantri yang ditempatkan di pulau itu (Batalion Infantri Independen ke-454) ditarik ke Balikpapan. Batalion ini dihancurkan oleh Divisi ke-7 Australia pada bulan Juli selama Pertempuran Balikpapan.[12]

 Era Kemerdekaan

Letak dan posisi yang strategis telah mampu menjadikan kecamatan Tarakan sebagai salah satu sentra industri di wilayah Kalimantan Timur bagian utara sehingga pemerintah perlu untuk meningkatkan statusnya menjadi Kota Administratif sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 1981.
Status Kota Administratif kembali ditingkatkan menjadi Kotamadya berdasarkan Undang-undang RI No. 29 Tahun 1997 yang peresmiannya dilakukan langsung oleh Menteri dalam Negeri pada tanggal 15 Desember 1997, sekaligus menandai tanggal tersebut sebagai Hari Jadi Kota Tarakan.


sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Tarakan
 :D

Komentar

Postingan Populer